Selasa, 29 Januari 2013

Ritual di Karang Bolong


Pengunduhan sarang burung walet adalah sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun dari zaman kerajaan Mataram Hindu Karto Suro (Amangkurat II) sampai saat ini. Hal ini dilakukan untuk melindungi para pengunduh dari mara bahaya sekaligus meminta perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan meminta ijin kepada penguasa Ratu Pantai Selatan. Masyarakat percaya bahwa Penguasa Laut Selatan adalah pemilik gua yang nantinya terdapat sarang walet yang siap untuk diunduh sehingga sebelum pengunduhan ada sesajen yang dipersembahkan untuk Ratu Kidul. Selain itu berbagai macam atraksi wisata yang bertajuk budaya juga diadakan, seperti halnya wayang yang dilakukan di Goa Contoh di sekitar pantai Karang Bolong.
Namun berbagai upaya pemerintah daerah kurang memberikan perhatian lebih terhadap prospek atraksi wisata yang sangat berpotensi ini, pemerintah lebih condong memajukan terhadap kunjungan wisatawan hanya untuk mengunjungi obyek wisata pantainya saja,sehingga upacar ritual ini hanya dianggap sebagi ritual biasa saja.
Pelbagai macam acara ritual dan slametan selalu diadakan sebelum memanen sarang walet, dikarenakan sebagian besar pendapatan daerah juga termasuk dari penjualan sarang walet, sehingga burung walet-pun menjadi sebuah ikon tersendiri dan primadona bagi Kota Kebumen.
Selain itu, dengan hasil dari air liur burung walet ini dapat mencukupi sebagian warga desa Karang Bolong, Kebumen, dan menjadi salah satu pemasok pendapatan daerah yang cukup besar bagi kota Kebumen.

dahulu pendapatan dari burung walet merupakan pendapatan yang sangat menjanjikan namun pengunduhan yang terjadi terus menerus menimbulkan decline. kerugiannya tidak hanya dialami oleh para pemerintah, namun juga para pekerja pengunduh walet yang sebagian besar adalah masyarakat sekitar, namun juga ekosistem pantai, ekosistem burung walet juga akan terganggu, ditandai dengan adanya penurunan hasil unduhan. 
untuk menarik pendapatan selain dari pengunduhan walet, kita dapat mengembangkannya sebagai tempat wisata karena kekayaan alamnya, dengan pemandangannya. kekayaan budaya masyarakat Karangbolong dengan ritual dan mitos-mitos yang berkembang
Ritual unik mengunduh sarang walet
Berbagai macam kegiatan unik yang diadakan khusus hanya pada ritual sebelum pengunduhan sarang dilakukan. Dan ini ritual ini hanya ada dimusim panen tertentu, yakni mangsa kasanga dalam penanggalan saka atau  dalam kalender bulan Jawa. Berbagai macam kegiatan dilakukan runtut seperti yang dijadwalkan. Seperti halnya ritual yang lain, ritual pengunduhan sarang walet ini juga dilakukan secara bertahap. Diantaranya yakni:
-       Tahap selametan di pendapa kantor Dependa Karang Bolong
Tahap ini dilakukan sebatas selamatan seperti biasa. Jika orang Jawa melakukan selamatan, khususnya Jawa Islam, hanya akan melakukan selametan dengan menyembelih hewan untuk kurban, dalam hal ini dilakukan dengan seekor kerbau jantan yang dipotong untuk lauk makan dan kenduri para warga atau membuat tumpengan yang sebelumnya didoakan dulu oleh oang yang ahli.
-        Larung Nyi Roro Kidul
Larung juga merupakan sebuah syarat sebelum diadakannya pengunduhan. Ritual larung ini dilakukan oleh Pak Mandor yang memimpin para pengunduh, sesajian yang digunakan untuk kegiatan ritual ini adalah hal atau benda-benda yang disukai oleh Nyi Roro Kidul diantaranya kain lurik hijau gadung (konon warna hijau gadung adalah warna yang disukai Nyi Roro Kidul), udang wulung, selendang, kasur, dan bantal yang berwarna putih. Tak keringgalan pula berbagai macam penganan, buah-buahan sesaji yang dipersembahkan untuk Ratu Kidul.
-        Tahap pementasan wayang kulit di Goa Contoh Karang Bolong
Pementasan wayang di Goa Contoh Karang Bolong dapat ditonton oleh khalayak umum. Ditunjukan di Goa Contoh karena tidak memungkinkan harus berada di Goa yang asli, dan dengan di Goa Contoh pemandangan backround gua akan terlihat lebih hidup dan bagus. Sebelumnya dalang akan berdoa dan kemudian meinta ijin pada Ratu Pantai Selatan, beserta para pengikutnya yang diyakini sebagai leluhur penemu dan pencetus diadakannya ritual ini, Dewi Suryawati, Joko Suyo, Den Bagus Cemeti, Kiai Bekel, dan Kiai Surti.
Biasanya pentas pewayangan ini dilakukan pada hari Jumat malam, atau kisaran hari baik menurut orang pintar setempat, jika tidak dilakukan dengan baik atau pada tanggal yang salah akan menimbulkan bahaya, musibah atau bencana. Dalam cerita pewayangan ini, kisah yang diambila adalah kisah epos Mahabarata versi Jawa. Yang unik dalam pewayangan ini, tokoh dalam pewayangan tak boleh gugur dimedan perang. Bila dalam pagelaran itu ada yang mati, diyakini bakal ada pengunduh sarang walet yang akan mendapatkan celaka.
-        Tahap kenduri di rumah mandor pengunduh sarang burung walet
Tahap kenduri ini dilakukan setelah pertunjukan wayang berlangsung atau dilakukan dipuncak acara ritual pada hari Jumat malam. Kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan tayuban atau pertunjukan tari Tayub, dan semua pengunduh akan berkumpul di Pendopo desa dan ikut bergembira, karena mereka yakin bahwa pada malam itu Penguasa Ratu pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul merestui diadakannya pertunjukan.
-        Tahap selamatan di pos penjagaan burung walet
Tahap akhir inilah sebelum diadakannya pengunduhan, pengunduh akan bersiap-siap yang dipimpin oleh pak mandor dalam melakukan kegiatan pengunduhan ini.Setelah tahap-tahap tersebut dilaksanakan tiba saatnya para pengunduh melakukan tugasnya sebagai pengunduh walet. Dengan peralatan yang tradisional, para pengunduh siap melakukan perjuangan yang bertaruh nyawa tersebut.
Namun sangat disayangkan atraksi ini kurang dikembangkan. ritual wayang dilakukan hanya untuk persembahan pada makhluk ghaib yang diyakini ikut andil dalam pengunduhan walet. namun tidak ada salahnya jika ditampilkan lagi ritual wayang yang dapat ditampilkan secara umum. kegiatan ritual lain yang dilebihkan. Maksud dilebihkan ini adalah yang menarik agar wisatawan datang. Jika dapat dikembangkan lebih lanjut lagi dapat di jadikan sebagai Festival wisata yang diadakan rutin setiap tahunnya.
Perkembangan ritual sebelum pengunduhan sarang walet sebagai kegiatan atraksi wisata juga masih jauh dari harapan. Kurang tersedianya pengetahuan dan infomasi akan hal adalah hal yang utama mendasari kurang berkembangnya hal yang menarik ini. Sekaligus promosi yang tidak dilakukan dalam skala yang luas, hanya dari mulut ke mulut. Berkembangya kecanggihan teknologi dan informasi kurang memberikan dampak yang lebih besar dalam menawarkan dan mempromosikan atraksi wisata ini. Dikarenakan juga kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam memajukan araksi wisata daerah (dalam hal ini wisata budaya).

Sehingga perlunya promosi dan penataan kegiatan merupakan hal yang sangat baik dilaksanakan apabila kegiatan ini dikemas dalam satu event wisata diharapkan akan banyak dikunjungi wisatawan khususnya bagi wisata asing, yang tentunya hal ini akan menguntungkan berbagai macam pihak dan pendapatan daerah.
selain hal tersebut juga perlu diperhatikan keberlanjutan, kekhasan budaya dan masyarakatnya, juga kearifan lokal masyarakat agar tetap lestari. selain sebagai kegiatan wisata juga diharapkan manfaat-manfaat lain juga akan timbul. erikut beberapa point-point penting yang dihasilkan dan tentu menguntungkan bagi budaya itu sendiri dan orang lain. Karena dengan adanya kediatan atraksi wisata akan dihasilkan yaitu;

-         Mengenalkan masyarakat terhadap ritual dan kebudayaan dari nenek moyang baik itu masyarakat desa itu sendiri maupun wisatawan
-          Melestarikannya, sehingga dapat dijumpai digenerasi yang akan datang
-          Memberikan pengetahuan khususnya kebudayaan
-          Meningkatkan kunjungan wisatawan
-          Memberikan dampak multiplier effect yang baik sebagai kawasan wisata                    
-     Perlu dikembangkannya sebagai cagar budaya







nb. gambar-gambar ini diunggah dari situs lain bukan milik pribadi








Mitos Selaranda Karang Sambung



Selaranda juga terkenal dengan nama Waturanda adalah nama dari sebuah batuan yang berukuran sangat besar yang terletak didaerah pinggir jalan Karangsambung, tepatnya di Desa Kaligendhing, Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Batuan hitam yang menyatu dengan bukit tersebut ada juga yang menamainya dengan nama Watukebo Kopek, yang memang dilihat secara sekilas terlihat seperti binatang kerbau hitam. Selaranda oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Karnagsambung telah dijadikan sebagai salah satu aset batuan unik dan menjadi obyek penelitaian tentang proses pembentukan batuan. Breksi Selaranda diperkirakan telah berumur 55juta tahun lebih.

 
http://rasimunway.blogspot.com/2011/08/wisata-ilmiah-di-geowisata.html

Masyarakat percaya sebagai batuan yang memiliki umur yang tua maka mereka mengaitkannya dengan hal-hal yang ghaib. Konon terdapat emas segenthong atau terdapat emas yang sangat banyak didalam batuan tersebut yang ditunggui oleh salah satu makhluk halus yang berwujud nenek tua renta. Mungkin dengan adanya kepercayaan masyarakat tentang mitos tersebut, masyarakat terap melestarikan batuan tersebut dan tidak ada salah seorang masyarakat yang berani untuk merusaknya. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik untuk mendorong wisatawan untuk datang berkunjung dan melihat-lihat pemandangan yang indah dan unik di sekitar bebatuan yang sangat besar ini serta mendengarkan mitos-mitos yang tersembunyi dibalik batuan-batuan tersebut.



Legenda Jaka Thole
Randa Sembiga dan Mbah Laran

Bagi warga sekitar Selaranda memiliki mitos sendiri. Seperti dengan apa yang telah dituturkan oleh masyarakat-masyarakat Kaligending yang telah diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar. Selaranda atau Waturanda diambil dari nama randa tua yang berarti janda tua. Janda tersebut bernama Sembiga yang hidup disekitar sungai Luk Ulo yang melintasi daerah Kaligending.
Tidak jauh dari rumah Sembiga terdapat duda tua yang bernama Mbah Laran dinamai dengan nama tersebut karena rumahnya yang tidak auh dari laran sungai Luk Ulo. Mereka sama-sama memiliki daya linuwih atau memiliki kelebihan yaitu kekuatan kanuragan, namun keduanya memeiliki watak yang keras kepala.
Suatu ketika Sembiga datang ke gubug Mbah Laran untuk meminjam pisau. Psiau tersebut akan digunakan untuk membelah buah Jambe yang akan digunakan untuk nginang dengan daun sirih. Hanya saja oleh Mbah Laran yang dipinjamkan bukanlah sebuah pisau biasa namun pisau pusaka. Kemudian Mbah Laran berpesan agar membelahnya jangan dilandaskan pada paha Sembiga, atau jangan sampai menempel pada paha seorang permpuan.

Rupanya pesan tersebut tidak digubris oleh janda tersebut. Dan nekat buah jambe tersebut di belah dan dilandaskan diatas paha janda tersebut. Seketika itu pisau pusaka tersebut lenyap tak berbekas.
Kejadian tersebut lantas langsung diceritakan pada Mbah Laran, mbah Laran hanya berkata bahwa dia sudah berpesan, namun karena sudah terlanjur dilanggar Mbah Laran mengingatkan bahwa akan ada kejadian setelah 9 bulan 10 hari kemudian.
Dan kejadian tersebut benar-benar terjadi. Perut Janda Sembiga tersebut kian hari kian membesar, Janda tersebut sedang mengandung seorang janin, seperti yang telah diisyaratkan oleh Mbah Laran. Tepat pada 9 bulan 10 hari kemudian Janda Sembiga melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamai Jaka Thole.
Ketika mulai dewasa Jaka Thole lantas menanyakan keberadaan ayahnya kepada ibunya yang tak lain  adalah Janda Sembiga tersebut. Sang Ibu pun merasa kebingungan untuk menjelaskan kelahiran anaknya tersebut, karena desakan dari anaknya tersebut Ibunya memerintahkan agar ia lantas mencari Mbah Laran di pinggiran sungai Luk Ulo.
Jaka Thole yang masih muda , ia berjalan kaki  untuk mencari Mbah Laran menyusuri pinggiran sungai yang kemudian ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang tak lain adalah Mbah Laran. Setelah bertemu ia menceritakan bahwa ia adalah anak dari Sembiga yang berayahkan Mbah Laran.
Mbah Laran semula tak mau mengakui bahwa Jaka Thole sebagai anaknya. Namun untuk menebus kekeliruannya dahulu, Mbah Laran pun bersedia mengakui Jaka Thole sebagai anaknya dengan beberapa syarat, salah satunya Jaka Thole harus berhasil menempuh ujia kadigdayaan.
Sebagai ujian pertamanya, Thole ditantang untuk balap lari di hamparan pasir sungai Luk Ulo, meskipun Mbah Laran mempunyai kesaktian, namun ternyata Thole mampu berlari dengan cepat sekali. meski sudah kalah Mbah laran belum mau mengakui kekalahannya. Untuk ujian selanjutnya, Jaka Thole ditantang untuk balap mabur atau terbang. Lagi-lagi Jaka Thole mampu untuk menandinginya.
Untuk tantangan yang terakhir kalinya Jaka Thole ditantang untuk menyebrangi sungai Luk Ulo yang kala itu sedang banjir sambil membawa kopek. Dengan kesaktian yang ia miliki semenjak lahir, kopek tersebut berubah menjadi kerbau hitam besar. Kemudian Thole menyebrangi sungai dengan menaiki kerbau tersebut hingga naik ke atas bukit.
Hingga kini masyarakat percaya bahwa lubang yang terdapat pada atas bukit Selaranda yang mirip dengan bekas tapak kaki kerbau dianggap wingit. Bahkan dari beberapa pendapat masyarakat sekitar Batu Selaranda yang sangat besar tersebut jika dilihat sekilas bentuknya mirip kerbau hitam yang besar.

Kabar kesaktian bocah tersebut tersebar hingga ke telinga adipati Baniara. Baniara merupakan nama sebuah desa di Karangsambung. Adipati tersebut berniat untuk mengangkatnya sebagai anak, dan memanggil Jaka Thole untuk menghadap padanya dan memintanya untuk menjadi anak angkatnya. Tawaran tersebut sangat diterima baik oleh Jaka Thole. Sejak saat itu Jaka Thole tinggal bersama keluarga Adipati Baniara. Keberadaannya kelak diharapkan untuk memperkuat kekuasaan Adipati Baniara, apalagi dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Selama menjadi anak angkat ternyata banyak sekali keributan yang terjadi antara Jaka Thole dan anak-anak Adipati Baniara. Karena Jaka Thole yang selalu mengalahkan anak-anaknya pada saat berkelahi. Jaka Thole sering mendapatkan marah besar dai sang Adipati, ia pun dibuat kesal oleh ulah Jaka Thole tersebut. Pikiran buruk menyeruak dibenaknya. Hasutan dari kerabatpun ia terima mentah-mentah untuk menyingkirkan Jaka Thole. Ia berfikir bahwa Jaka Thole akan merebut kekuasaannya. Lantas disusunlah rencana busuk untum menyingkirkan Jaka Thole.
Dipilihlah hari untuk membawa Jaka Thole jauh kedalam hutan. Sesampainya dalam hutan ia disuruh untuk mengambil keris pusaka adipati tersebut dalam kamarnya, Jaka Thole lekas mengambil keris tersebut didalam kamar ayah angkatnya.
Setelah mengambilnya ia dituduh oleh Adipati lancang mengambil pusakanya. Jaka Thole dihukum mati oleh adipati. Dibantu oleh pengawalnya Jaka thole diikat dengan sutas tali. Dalam keadaan yang tidak berdaya Jaka Thole di penggal oleh ayah angkatnya.
Darah menyembur kemana-mana, aroma anyir menyerbak tak terhindarkan. Meski kepalanya terpisah namun Jaka Thole masih mampu berbicara bahwa ia tak bersalah dan mengutuk ayah angkatnya. Sebelum mati ia mengucapkan sumpah atau idu geni pada ayah angkatnya, kelak adipati baniara akan tamat riwayatnya pada hari senin wage oleh serbuan dari arah tenggara
karena geram oleh kepala Jaka Thole, Lantas ia menancapkannya pada sebatang kayu, kemudian Jaka Thole tewas secara tragis oleh ayah angkatnya sendiri.
dan benar sumpah maut itu benar-benar terjadi. Adipati Bocor yang memimpin pasukan diwilayah pesisir selatan akan menundukkan Adipati Baniara.
Sebelum penyerbuan ia merencanakan untuk memerintahkan anaknya agar menyamar sebagai abdi dalem dan mencari tahu kelemahan Adipati banira tersebut. Tidak tahu sedang dimata-matai akhirnya Setelah selang beberapa waktu putra Adipati Bocor tersebut mengetahui kelemahan Adipati Baniara bahwa ia mempunyai hari buruk yaitu pada hari Senin Wage. Kabar manis tersebut lantas disampaikan kepada ayahandanya.
Kemudian Adipati Bocor merencanakan penyerbuan untuk menaklukan kekuasaan Adipati Baniara. Ternyata rencana tersebut telah terdengar sampai Ke telinga Adipati Baniara. Untuk menghalaunya ia mengerahkan beberapa prajurit. Dan peperangan pun tak terelakkan.
Adipati Baniara mengalami kekalahan dan bertepatan pada hari Senin Wage dan berakhirlah kekuasaan Adipati Baniara.
Hingga sekarang masyarakat masih mempercayai bahwa Senin Wage pantang unruk menyembelih hewan, karena akan menimbulkan bahaya bagi masyarakat tersebut.

moral yang dapat dipetik pada mitos ini adalah janganlah kamu menganiaya karena kelak nanti akan teraniaya. jika tidak di dunia pastilah akan terbalas di akhirat kelak. perlu diketahui juga bahwa doa orang yang teraniaya dimakbulkan oleh Tuhan YMK.

sumber : Dinas Pariwisata Kebumen 2006 "Mengenal Beberapa Legenda Daerah Kebumen dan Obyek Wisatanya"

Minggu, 20 Januari 2013

Ritus Lengger Banyumasan


A..     Pendahuluan
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata semiotik sendiri berasal dari bahasa Yunani semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Contohnya, asap yang membumbung tinggi yang menandai adanya api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematis menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16 dalam).
Pengertian tanda memiliki sejarah yang cukup panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani kumo (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian di kenal dengan semiotik dan semiologi
Kabupaten Banyumas memiliki karakteristik khas, baik secara geografis maupun sosial kultural. Masyarakat Banyumas dikenal sebagai masyarakat marginal dan masyarakat yang egaliter dalam berinteraksi. Egalitarian masyarakat Banyumas dapat dilihat dari cara bertegur sapa dan mengungkapkan pendapat. Masyarakat Banyumas dikenal sebagai masyarakat yang kurang begitu memperhatikan stratifikasi sosial, sehingga terkesan tidak etis. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa atau dialek Banyumasan yang lugas atau dikenal dengan dialek ngapak-ngapak atau koek-koek. Cara mengemukakan pendapat dalam dialog atau diskusi dikenal dengan cablaka, yaitu mengungkapkan pendapat dengan cara lugas, apa adanya, blak-blakan, kritis, menyentil atau nylekit; sehingga bagi masyarakat dari daerah lain menganggap gaya bicara Banyumas seperti orang bertengkar (Chusmeru tanpa tahun)
Kabupaten Banyumas memiliki berbagai macam ragam budaya dan kesenian yang khas, termasuk kesenian tari-tarian tradisional. Tarian tradisional yang paling terkenal di wilayah banyumas adalah Lengger, atau Lengger calung (Lengger yang diiringi oleh alat musik calung yang mirip seperti alat musik daerah sunda).
B.     Rumusan Masalah
Apa maksud dan simbol dari ritus pertunjukan dan perjalanan sebuah Lengger dan Bagaimana Lengger dalam analisis semoitik secara general?

C.     Pembahasan
Banyumas memiliki kesenian tradisi dan bahasa yang sangat khas, menurut Koentjara ningrat (1985 dalam Kulsum : 2006) wilayah banyumas secara geografis berdekatan dengan wilayah jawa barat, menyebabkan daerah itu memiliki kebudayaan yang mirip dengan Sunda dan sangat khas untuk wilayah Jawa Tengah. Menurut Suharto (1980 dalam Kulsum: 2006) pada awal perkembangan munculnya Lengger di ilhami oleh ritus kesuburan yang terdapat dalam masyarakat agraris, seperti halnya pertunjukan tayub atau gandrung untuk keperluan ritual. Dahulu masyarakat pertanian mensyukuri panen dengan melakukan tarian kesuburan yang di persembahkan untuk dewata.
Keberadaan Lengger di wilayah Banyumas di perkirakan telah ada sejak abad 17, yang pada awalnya kelompok Lengger itu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain yang di sebut barangan, karena terdapat pihak kraton yang menyukai adanya hiburan tersebut, maka mereka di panggil untuk bermain di pendapa atau pengaji. Dan dalam perkembangannya Lengger mulai dikenal di wilayah banyumas dan sekitarnya dan di kenal dengan dua kelompok Lengger yaitu Lengger barangan dan Lengger pengaji (Kulsum : 2004).
Menurut Sunaryadi (2000: 31) pertama kali munculnya Lengger adalah di daerah Jatilawang, suatu daerah minus yang berada di Kabupaten Banyumas. Sebagian lagi berpendapat bahwa kesenian Lengger berasal dari Mataram yang masuk di Kalibagor Banyumas pada tahun 1755 (Topik 1981 dalam Sunaryadi 2000)

C.1 Pengertian Lengger
Dalam masyarakat banyumas, arti kata Lengger dan ronggeng memiliki beberapa makna dan kesemuanya berkonotasi pada kelamin. Ada yang mengartikan Lengger berasal dari kata leng atau lubang perempuan (vagina) dan angger dengan anak laki-laki (Kulsum : 2006).
Menurut muriah Budiarti (tanpa tahun) makna Lengger berasal dari kata leng yang bererti lubang dan ger atau geger yang artinya adalah lubang yang membuat geger.
Ada pula yang mengartikan Lengger merupakan singkatan kata dari leng yang artinya lubang dan ger yang maksudnya adalah jengger adalah lubang untuk laki-laki, atau tempat laki-laki melakukan persetubuhan. Makna tersebut tidak beda jauh dari arti ronggeng, yaitu rong yang artinya lubang dan geng yang artinya ketunggeng atau tempat dimana laki-laki melakukan persetubuhan. Kedua makna ini sampai saat ini masih di terima di masyarakat Banyumas. Pendapat ini sesuai dengan pendapat beberapa kelompok seniman Banyumas yang menyatakan  bahwa leng berarti lubang dan jengger yang menandakan sifat kejantanan, namun terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu kedua kata itu diartikan sebagai “dikira leng ning jengger” (dikira lubang tetapi jengger), artinya dikira perempuan ternyata laki-laki (Sunaryadi 2000: 32) istilah ini lebih di prioritaskan pada penari Lengger yang di lakukan oleh penari laki-laki. Karena pada awalnya terdapat pendapat bahwa Lengger di tarikan oleh laki-laki dan kedudukannya digantikan oleh wanita sejak tahun 1918, karena semakin sulitnya menemukan anak laki-laki yang memiliki kemampuan untk menjadi penari Lengger, sedangkan sosok wanita di anggap lebih luwes dan memiliki daya tarik sensual bagi penonton (sunaryadi 2000: 38-39). 
Lain pula pada persepsi masyarakat yang memiliki faktor agama yang kuat, mereka memahami bahwa kata Lengger merupakan sebuah nasihat “elinga ngger” yang berarti elinga yang menjadi leng adalah ingatlah. Dan ngger adalah sebutan yang di tujukan pada orang yang lebih muda. Mengingat disini di tujukan pada yang Maha Kuasa
Terdapat banyak perbedaan pemahaman akan arti Lengger hal ini menunjukan bahwa adanya perbedaan lingkungan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan yang menandakan adanya  perbedaan nilai seiring berkembangnya tarian Lengger

C.2 Perkembangan Lengger
 Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Banyumas pun pada awalnya tidak mengilhami tarian Lengger sebagi tarian yang saru, namun lebih melambangkan arti kesuburan. Setelah beberapa dekade tarian Lengger mengalami beberapa pergeseran nilai, yang mengakibatkan pada pandangan orang menilai bahwa lenggak lenggok Lengger ini adalah tarian yang mengekspose keindahan tubuh seorang wanita. Mengumbar seksualitas dan minim akan moralitas, seperti yang terjadi pada masa G 30 S PKI oleh Ahmad Tohari yang diungkapkannya pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, yang mengiyakan adanya patriarki terhadap para penari Lengger wanita atau ronggeng yang cenderung di rendahkan, hanya untuk memuaskan hasrat laki-laki belaka serta banyaknya  pornoaksi yang terjadi antara ronggeng dan penonton laki-laki yang ikut menari, dan pergaulan bebas yang dilakoni para Ronggeng atau penari lengger.
Tarian Lengger awalnya merupakan tarian pergaulan yang tidak memiliki ritmik dan aturan dalam menari, seperti halnya tarian kraton pada umumnya. Tarian Lengger ini merupakan ekspresi yang di keluarkan oleh penari mengikuti irama musik. Dan para penari Lengger atau ronggeng adalah penari yang memiliki kreatifitas dan imajinasi yang bebas dalam menari. Seperti halnya makna filosofi bukak kusan yang menurut Kulsum (2006) yang merupakan simbol bahwa seorang ronggeng tidak boleh malu lagi ketika di atas panggung dan di depan masyarakat banyak, keberanian dan kebebasan di harapkan akan melahirkan pertunjukan dan kesenian yang memikat.
Dalam proses perkembangannya tarian yang awalnya hanya gerakan bebas melampiaskan kesenangan menurut Sedyawati (1980 dalam Kulsum) akhirnya dapat di terima sebagai tarian yang dapat di tonton.
Pada saat sekarang kesenian Lengger kembali mengalami pergeseran fungsi, di karenakan masyarakat mayoritas di pengaruhi oleh semakin kuatnya pemahaman religi, sehingga pada masa kini Lengger hanya sebatas hiburan dan kesenian tradisional masyarakat Banyumas. Kehadirannyapun cukup jarang di temui, biasanya pada acara peresmian, perkawinan, tujuh belasan dan sebagainya tanpa adanya unsur-unsur erotisme dalam gerakan para penarinya.

C.3 Lengger dalam Semiotik

C.3.a Ritus seorang ronggeng
Sebagai penari Lengger, seorang ronggeng memang dituntut untuk memiliki keluwesan dan daya pikat yang mempesona, biasanya para perempuan yang beranjak remaja pada kisaran usia belasan tahun. Untuk menjadi seorang Lengger terdapat beberapa macam syarat yang harus di penuhi oleh para calon penari Lengger proses ini di sebut nguntil dan orang yang melakukannya di sebut unthul. Seorang calon ronggeng dapat di ketahui sejak dirinya masih anak-anak, mereka biasanya mampu menyanyi dan menari melebihi kemampuan anak-anak pada umumnya. Masyarakat meyakini bahwa anak tersebut di masuki oleh indang atau roh Lengger dan digariskan untuk menjadi ronggeng atau penari Lengger.
Keterkaitan indang pada Lengger akan membuat para Lengger memiliki ketrampilan, kemampuan dan daya tarik tinggi dan mempesona pada saat penari Lengger berpentas di depan khalayak. Indang ini tidak mudah datang begitu saja, tetapi di peroleh dengan cara laku atau bertapa dan priatin. Mereka menganggap kedatangan indang dalam kesenian Lengger sangat berarti bagi penari, karena akan membawa berkah, rizki, pamor, dan dapat mengobati orang yang sakit. Kedatangan indang di tandai dengan adanya trance atau kesurupan.
Untuk menjadi seorang penari Lengger, pada tahap pertama para calon ronggeng harus melakukan laku, atau perilaku khusus untuk mendapatkan sesuatu yang khusus dalam ritus Jawa, yaitu topo broto dan topo ngrame. Topo Broto adalah kegiatan priatin, ngasrep atau mengurangi garam dan mengurangi makan. Hal ini ditunjukan agar para ronggeng dapat terasah mentalnya dan menambah ketertarikan pada diri ronggeng. Sedangkan topo ngrame adalah kegiatan latihan menari oleh para calon penari Lengger.
Tahap kedua adalah tahap dimana para unthul atau calon ronggeng mandi di tujuh sendang di dalam hutan dimalam bulan purnama, agar indhang yang di milik oleh para unthul dapat memberikan kekuatan supranatural.
ritus ketiga adalah mandi di sumur keramat yang diyakini dapat memberikan aura cantik kepada para unthul.
Ritual puncak dari seorang calon ronggeng adalah upacara Gladhen atau penobatan, yang di laksanakan pada waktu malam jum’at kliwon dengan menyediakan sajen seperti semara, kaca pengilon, minyak wangi, tembakau, rokok, bedak dan lampu senthir. Gladen diawali dengan acara bukak kusan, yaitu menutupi wajah ronggeng dengan kukusan atau alat untuk menanak nasi. Hal ini menyimbolkan bahwa di buanglah rasa malu dari ronggeng agar dapat bebas berekspresi ketika dalam pertunjukan. Dan pada pelaksanaan Gladhen ini diiringi oleh gendhing banyumasan, biasanya Sekar gadhung dan Eling-eling.
Tahap ini adalah contoh tahap yang di lakukan para Lengger di daerah Jatilawang, daerah yang di yakini lahirnya para penari Lengger atau ronggeng. Topo Broto, topo ngrame, Gladhen dan bukak kusan masih sering di jalankan di wilayah Banyumas.
Dalam beberapa pendapat terdapat tahap bukak klambu, istilah ini terkenal sejak novel Ahmad Tohari di terbitkan. Memang dari beberapa sumber menyetujui bahwa tradisi bukak klambu atau memerawani sang calon ronggeng adalah ritual yang paling penting dilakukan. Bukak klambu di lakukan oleh laki-laki yang mampu membayar sang ronggeng dengan nilai tertinggi. Tradisi bukak klambu menyimbolkan makna bertemunya lingga dan yoni, yang mewakili simbol kesuburan (Sunaryadi 2000: 53).
Setelah ritual-ritual tersebut di lakukan barulah sang ronggeng melakukan proses midhang yang maksudnya melakukan proses tujuh pertunjukan. Midhang ini menyimbolkan telah sahnya seorang unthul menjadi ronggeng dan mulai menjalani kehidupan dalam dunia Lengger. Hal ini d harapkan agar para ronggeng atau penari Lengger ini mampu mempromosikan dirinya dan meminta restu dari para warga sekitar.

C.3.b Tarian Lengger
Sebelumnya para ronggeng akan menari mengikuti alunan gamelan calung yang sedang di mainkan, geol dan gerakannya erotis dan sangat menarik bagi para laki-laki untuk menontonnya. Gerakan tarian Lengger yang erotis ini menyimbolkan perkawinan para dewa yang berbuah pada panen yang melimpah. sehingga masyarakat percaya dengan adanya Lengger akan membawa berkah bagi desanya. (Priyanto tanpa tahun).
Kejadian trance yang menandakan bahwa indang telah masuk dalam raga seorang ronggeng adalah tanda puncaknya atau bagian klimaks tarian Lengger. Tanpa adanya kehadiran indang, Lengger di anggap tidak klimaks.
Tarian Lengger Calung Banyumasan biasanya di lakukan pada empat babak diantaranya adalah babak gambyongan atau Lenggeran, babak badutan, babak ebeg-ebegan, babak baladewan.
a.       Babak gambyongan atau Lenggeran
tarian Lengger ini mirip seperti tari gambyong pada umumnya, di lakukan oleh penari wanita, yang tentunya cantik, menawan dan muda belia.tarian gambyongan menandakan keluwesan seorang wanita. Di mulainya tarian ini juga menandakan selamat datang dan selamat menyaksikan pertunjukan.
b.      Babak badutan
Babak ini hanya sebuah selingan yang berisi lawakan oleh salah seorang Lengger, pembawa acara dan para pemusik gending. Hal ini agar dapat memberikan waktu istirahat terhadap para ronggeng dan yang lain. Babak badhutan ini juga merupakan unsur penting dalam sebuah kesenian rakyat seperti Lengger.
c.       Babak ebeg-ebegan
Adalah babak yang ditarikan seperti dalam tarian kuda lumping. Pada babak ini penari akan mengalami keadaan trance atau kesurupan oleh indang yang merasukinya. Keadan trance oleh para penari ebeg ini menyimbolkan bahwa terdapat kekuatan supranatural yang di miliki oleh roh pelindung desa Lengger tersebut atau yang di namakan danyang. Danyang adalah perwujudan tokoh yang meninggal pada masa lampau.
d.      Babak Baladewan
Babak ini adalah babak yang di lakukan oleh salah seorang penari Lengger yang menarikan tarian Baladewan. Baladewan berasal dari kata Bala yang berarti teman dan Dewa yang diartikan sebagai Yang Maha Kuasa. Tarian ini menyimbolkan permohonan pada Yang Kuasa untuk keselamatan teman dan sahabat (Sunaryadi 2000: 56)
Sebagian berpendapat babak ini adalah babak akhir dimana para roh Lengger kembali ketempat mereka bersemayam, diyakini mereka adalah dewa-dewa yang membantu tugas manusia dalam kesehariannya.













D.     Penutup
Lengger merupakan kesenian rakyat tradisional yang cukup terkena di wilayah marginal seperti Banyumas dan sekitarnya. Dalam perkembangannya Lengger pernah mengalami masa kejayaan dan mengalami berbagai pergeseran nilai dan fungsi dari waktu ke waktu. Lengger pernah mengalami mati suri pada periode tahun 1980-an, dan muncul kembali pada tahun 90-an. Semakin tahun keberadaan kesenian Lengger mulai terpinggirkan. Karena semakin meningkatnya pemahaman masyarakat yang global dan persepsi miring terhadap kesenian Lengger yang identik dengan saru, erotisme, sensualitas seorang wanita dan seks. Pemahaman yang minim akan simbol-simbol yang ditunjukan kesenian Lengger ini juga merupakan faktor yang merubah pola pikir masyarakat terhadap kesenian Lengger.
Lengger kini hanya sebatas kesenian rakyat pinggiran, yang banyak di konsumsi oleh rakyat jelata dan banyak diantaranya di pentaskan di jalanan.














Daftar Pustaka
Chusmeru tanpa tahun “komunikasi transedental dan kearifan lokal dalam kesenian tradisional Banyumas
Herususanto, Budiono 2008, Banyumas “sejarah budaya dan watak” Lkis. Yogyakarta
Kulsum, Kendar Umi. 2006 “kajian estetika feminis(seni tradisi Lengger)” universitas Indonesia. Jakarta
Perpustakaan Universitas Pendidkan Indonesia tanpa tahun “semiotik
Priyanto, Wien Pudji tanpa tahun “Makna Indhang dalam Kesenian Ebeg dan Lengger”Universitas Negri Yogyakarta, Yogyakarta
Sunaryadi. 2000, Lengger “tradisi dan transformasi” Yayasan untuk Indonesia : Yogyakarta