A..
Pendahuluan
Semiotika merupakan
suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan segala hal yang
berhubungan dengan tanda. Kata semiotik sendiri berasal dari bahasa Yunani
semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Contohnya,
asap yang membumbung tinggi yang menandai adanya api. Semiotika berusaha
menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematis
menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi
yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16 dalam).
Pengertian
tanda memiliki sejarah yang cukup panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan
Yunani kumo (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian
di kenal dengan semiotik dan semiologi
Kabupaten Banyumas memiliki karakteristik khas, baik secara
geografis maupun sosial kultural. Masyarakat Banyumas dikenal sebagai masyarakat marginal dan
masyarakat yang egaliter dalam berinteraksi. Egalitarian masyarakat Banyumas
dapat dilihat dari cara bertegur sapa dan mengungkapkan pendapat. Masyarakat
Banyumas dikenal sebagai masyarakat yang kurang begitu memperhatikan stratifikasi
sosial, sehingga terkesan tidak etis. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa
atau dialek Banyumasan yang lugas atau dikenal dengan dialek ngapak-ngapak atau
koek-koek. Cara mengemukakan pendapat dalam dialog atau diskusi dikenal
dengan cablaka, yaitu mengungkapkan pendapat dengan cara lugas, apa
adanya, blak-blakan, kritis, menyentil atau nylekit; sehingga bagi
masyarakat dari daerah lain menganggap gaya bicara Banyumas seperti orang
bertengkar (Chusmeru tanpa tahun)
Kabupaten
Banyumas memiliki berbagai macam ragam budaya dan kesenian yang khas, termasuk
kesenian tari-tarian tradisional. Tarian tradisional yang paling terkenal di
wilayah banyumas adalah Lengger, atau Lengger calung (Lengger yang diiringi
oleh alat musik calung yang mirip seperti alat musik daerah sunda).
B.
Rumusan Masalah
Apa maksud dan
simbol dari ritus pertunjukan dan perjalanan sebuah Lengger dan Bagaimana Lengger
dalam analisis semoitik secara general?
C.
Pembahasan
Banyumas
memiliki kesenian tradisi dan bahasa yang sangat khas, menurut Koentjara
ningrat (1985 dalam Kulsum : 2006) wilayah banyumas secara geografis berdekatan
dengan wilayah jawa barat, menyebabkan daerah itu memiliki kebudayaan yang
mirip dengan Sunda dan sangat khas untuk wilayah Jawa Tengah. Menurut Suharto
(1980 dalam Kulsum: 2006) pada awal perkembangan munculnya Lengger di ilhami
oleh ritus kesuburan yang terdapat dalam masyarakat agraris, seperti halnya
pertunjukan tayub atau gandrung untuk keperluan ritual. Dahulu masyarakat
pertanian mensyukuri panen dengan melakukan tarian kesuburan yang di
persembahkan untuk dewata.
Keberadaan Lengger
di wilayah Banyumas di perkirakan telah ada sejak abad 17, yang pada awalnya
kelompok Lengger itu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain yang di
sebut barangan, karena terdapat pihak kraton yang menyukai adanya hiburan
tersebut, maka mereka di panggil untuk bermain di pendapa atau pengaji. Dan
dalam perkembangannya Lengger mulai dikenal di wilayah banyumas dan sekitarnya
dan di kenal dengan dua kelompok Lengger yaitu Lengger barangan dan Lengger
pengaji (Kulsum : 2004).
Menurut
Sunaryadi (2000: 31) pertama kali munculnya Lengger adalah di daerah
Jatilawang, suatu daerah minus yang berada di Kabupaten Banyumas. Sebagian lagi
berpendapat bahwa kesenian Lengger berasal dari Mataram yang masuk di Kalibagor
Banyumas pada tahun 1755 (Topik 1981 dalam Sunaryadi 2000)
C.1 Pengertian
Lengger
Dalam
masyarakat banyumas, arti kata Lengger dan ronggeng memiliki beberapa makna dan
kesemuanya berkonotasi pada kelamin. Ada yang mengartikan Lengger berasal dari
kata leng atau lubang perempuan (vagina) dan angger dengan anak laki-laki
(Kulsum : 2006).
Menurut muriah
Budiarti (tanpa tahun) makna Lengger berasal dari kata leng yang bererti lubang
dan ger atau geger yang artinya adalah lubang yang membuat geger.
Ada pula yang
mengartikan Lengger merupakan singkatan kata dari leng yang artinya lubang dan
ger yang maksudnya adalah jengger adalah lubang untuk laki-laki, atau tempat
laki-laki melakukan persetubuhan. Makna tersebut tidak beda jauh dari arti
ronggeng, yaitu rong yang artinya lubang dan geng yang artinya ketunggeng atau
tempat dimana laki-laki melakukan persetubuhan. Kedua makna ini sampai saat ini
masih di terima di masyarakat Banyumas. Pendapat ini sesuai dengan pendapat
beberapa kelompok seniman Banyumas yang menyatakan bahwa leng berarti lubang dan jengger yang
menandakan sifat kejantanan, namun terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu
kedua kata itu diartikan sebagai “dikira leng ning jengger” (dikira lubang
tetapi jengger), artinya dikira perempuan ternyata laki-laki (Sunaryadi 2000:
32) istilah ini lebih di prioritaskan pada penari Lengger yang di lakukan oleh
penari laki-laki. Karena pada awalnya terdapat pendapat bahwa Lengger di
tarikan oleh laki-laki dan kedudukannya digantikan oleh wanita sejak tahun
1918, karena semakin sulitnya menemukan anak laki-laki yang memiliki kemampuan
untk menjadi penari Lengger, sedangkan sosok wanita di anggap lebih luwes dan
memiliki daya tarik sensual bagi penonton (sunaryadi 2000: 38-39).
Lain pula pada
persepsi masyarakat yang memiliki faktor agama yang kuat, mereka memahami bahwa
kata Lengger merupakan sebuah nasihat “elinga ngger” yang berarti elinga yang
menjadi leng adalah ingatlah. Dan ngger adalah sebutan yang di tujukan pada
orang yang lebih muda. Mengingat disini di tujukan pada yang Maha Kuasa
Terdapat banyak
perbedaan pemahaman akan arti Lengger hal ini menunjukan bahwa adanya perbedaan
lingkungan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan yang menandakan
adanya perbedaan nilai seiring
berkembangnya tarian Lengger
C.2 Perkembangan
Lengger
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya
bahwa masyarakat Banyumas pun pada awalnya tidak mengilhami tarian Lengger
sebagi tarian yang saru, namun lebih melambangkan arti kesuburan. Setelah
beberapa dekade tarian Lengger mengalami beberapa pergeseran nilai, yang
mengakibatkan pada pandangan orang menilai bahwa lenggak lenggok Lengger ini
adalah tarian yang mengekspose keindahan tubuh seorang wanita. Mengumbar
seksualitas dan minim akan moralitas, seperti yang terjadi pada masa G 30 S PKI
oleh Ahmad Tohari yang diungkapkannya pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, yang
mengiyakan adanya patriarki terhadap para penari Lengger wanita atau ronggeng
yang cenderung di rendahkan, hanya untuk memuaskan hasrat laki-laki belaka
serta banyaknya pornoaksi yang terjadi
antara ronggeng dan penonton laki-laki yang ikut menari, dan pergaulan bebas
yang dilakoni para Ronggeng atau penari lengger.
Tarian Lengger
awalnya merupakan tarian pergaulan yang tidak memiliki ritmik dan aturan dalam
menari, seperti halnya tarian kraton pada umumnya. Tarian Lengger ini merupakan
ekspresi yang di keluarkan oleh penari mengikuti irama musik. Dan para penari Lengger
atau ronggeng adalah penari yang memiliki kreatifitas dan imajinasi yang bebas
dalam menari. Seperti halnya makna filosofi bukak kusan yang menurut Kulsum
(2006) yang merupakan simbol bahwa seorang ronggeng tidak boleh malu lagi
ketika di atas panggung dan di depan masyarakat banyak, keberanian dan
kebebasan di harapkan akan melahirkan pertunjukan dan kesenian yang memikat.
Dalam proses
perkembangannya tarian yang awalnya hanya gerakan bebas melampiaskan kesenangan
menurut Sedyawati (1980 dalam Kulsum) akhirnya dapat di terima sebagai tarian
yang dapat di tonton.
Pada saat sekarang kesenian Lengger kembali mengalami pergeseran
fungsi, di karenakan masyarakat mayoritas di pengaruhi oleh semakin kuatnya
pemahaman religi, sehingga pada masa kini Lengger hanya sebatas hiburan dan
kesenian tradisional masyarakat Banyumas. Kehadirannyapun cukup jarang di temui,
biasanya pada acara peresmian, perkawinan, tujuh belasan dan sebagainya tanpa
adanya unsur-unsur erotisme dalam gerakan para penarinya.
C.3 Lengger dalam Semiotik
C.3.a Ritus
seorang ronggeng
Sebagai penari Lengger,
seorang ronggeng memang dituntut untuk memiliki keluwesan dan daya pikat yang
mempesona, biasanya para perempuan yang beranjak remaja pada kisaran usia
belasan tahun. Untuk menjadi seorang Lengger terdapat beberapa macam syarat
yang harus di penuhi oleh para calon penari Lengger proses ini di sebut nguntil
dan orang yang melakukannya di sebut unthul. Seorang calon ronggeng dapat di
ketahui sejak dirinya masih anak-anak, mereka biasanya mampu menyanyi dan
menari melebihi kemampuan anak-anak pada umumnya. Masyarakat meyakini bahwa anak
tersebut di masuki oleh indang atau roh Lengger dan digariskan untuk menjadi
ronggeng atau penari Lengger.
Keterkaitan
indang pada Lengger akan membuat para Lengger memiliki ketrampilan, kemampuan
dan daya tarik tinggi dan mempesona pada saat penari Lengger berpentas di depan
khalayak. Indang ini tidak mudah datang begitu saja, tetapi di peroleh dengan
cara laku atau bertapa dan priatin. Mereka menganggap kedatangan indang dalam
kesenian Lengger sangat berarti bagi penari, karena akan membawa berkah, rizki,
pamor, dan dapat mengobati orang yang sakit. Kedatangan indang di tandai dengan
adanya trance atau kesurupan.
Untuk menjadi
seorang penari Lengger, pada tahap pertama para calon ronggeng harus melakukan
laku, atau perilaku khusus untuk mendapatkan sesuatu yang khusus dalam ritus
Jawa, yaitu topo broto dan topo ngrame. Topo Broto adalah kegiatan priatin,
ngasrep atau mengurangi garam dan mengurangi makan. Hal ini ditunjukan agar
para ronggeng dapat terasah mentalnya dan menambah ketertarikan pada diri ronggeng.
Sedangkan topo ngrame adalah kegiatan latihan menari oleh para calon penari Lengger.
Tahap kedua
adalah tahap dimana para unthul atau calon ronggeng mandi di tujuh sendang di
dalam hutan dimalam bulan purnama, agar indhang yang di milik oleh para unthul
dapat memberikan kekuatan supranatural.
ritus ketiga
adalah mandi di sumur keramat yang diyakini dapat memberikan aura cantik kepada
para unthul.
Ritual puncak
dari seorang calon ronggeng adalah upacara Gladhen atau penobatan, yang di
laksanakan pada waktu malam jum’at kliwon dengan menyediakan sajen seperti
semara, kaca pengilon, minyak wangi, tembakau, rokok, bedak dan lampu senthir.
Gladen diawali dengan acara bukak kusan, yaitu menutupi wajah ronggeng dengan
kukusan atau alat untuk menanak nasi. Hal ini menyimbolkan bahwa di buanglah
rasa malu dari ronggeng agar dapat bebas berekspresi ketika dalam pertunjukan.
Dan pada pelaksanaan Gladhen ini diiringi oleh gendhing banyumasan, biasanya
Sekar gadhung dan Eling-eling.
Tahap ini
adalah contoh tahap yang di lakukan para Lengger di daerah Jatilawang, daerah
yang di yakini lahirnya para penari Lengger atau ronggeng. Topo Broto, topo
ngrame, Gladhen dan bukak kusan masih sering di jalankan di wilayah Banyumas.
Dalam beberapa
pendapat terdapat tahap bukak klambu, istilah ini terkenal sejak novel Ahmad
Tohari di terbitkan. Memang dari beberapa sumber menyetujui bahwa tradisi bukak
klambu atau memerawani sang calon ronggeng adalah ritual yang paling penting
dilakukan. Bukak klambu di lakukan oleh laki-laki yang mampu membayar sang
ronggeng dengan nilai tertinggi. Tradisi bukak klambu menyimbolkan makna
bertemunya lingga dan yoni, yang mewakili simbol kesuburan (Sunaryadi 2000: 53).
Setelah
ritual-ritual tersebut di lakukan barulah sang ronggeng melakukan proses
midhang yang maksudnya melakukan proses tujuh pertunjukan. Midhang ini
menyimbolkan telah sahnya seorang unthul menjadi ronggeng dan mulai menjalani
kehidupan dalam dunia Lengger. Hal ini d harapkan agar para ronggeng atau
penari Lengger ini mampu mempromosikan dirinya dan meminta restu dari para
warga sekitar.
C.3.b Tarian Lengger
Sebelumnya para
ronggeng akan menari mengikuti alunan gamelan calung yang sedang di mainkan,
geol dan gerakannya erotis dan sangat menarik bagi para laki-laki untuk
menontonnya. Gerakan tarian Lengger yang erotis ini menyimbolkan perkawinan
para dewa yang berbuah pada panen yang melimpah. sehingga masyarakat percaya
dengan adanya Lengger akan membawa berkah bagi desanya. (Priyanto tanpa tahun).
Kejadian trance
yang menandakan bahwa indang telah masuk dalam raga seorang ronggeng adalah
tanda puncaknya atau bagian klimaks tarian Lengger. Tanpa adanya kehadiran
indang, Lengger di anggap tidak klimaks.
Tarian Lengger
Calung Banyumasan biasanya di lakukan pada empat babak diantaranya adalah babak
gambyongan atau Lenggeran, babak badutan, babak ebeg-ebegan, babak baladewan.
a.
Babak gambyongan atau Lenggeran
tarian Lengger
ini mirip seperti tari gambyong pada umumnya, di lakukan oleh penari wanita,
yang tentunya cantik, menawan dan muda belia.tarian gambyongan menandakan
keluwesan seorang wanita. Di mulainya tarian ini juga menandakan selamat datang
dan selamat menyaksikan pertunjukan.
b.
Babak badutan
Babak ini hanya
sebuah selingan yang berisi lawakan oleh salah seorang Lengger, pembawa acara
dan para pemusik gending. Hal ini agar dapat memberikan waktu istirahat terhadap
para ronggeng dan yang lain. Babak badhutan ini juga merupakan unsur penting
dalam sebuah kesenian rakyat seperti Lengger.
c.
Babak ebeg-ebegan
Adalah babak
yang ditarikan seperti dalam tarian kuda lumping. Pada babak ini penari akan
mengalami keadaan trance atau kesurupan oleh indang yang merasukinya. Keadan
trance oleh para penari ebeg ini menyimbolkan bahwa terdapat kekuatan
supranatural yang di miliki oleh roh pelindung desa Lengger tersebut atau yang
di namakan danyang. Danyang adalah perwujudan tokoh yang meninggal pada masa
lampau.
d.
Babak Baladewan
Babak ini
adalah babak yang di lakukan oleh salah seorang penari Lengger yang menarikan
tarian Baladewan. Baladewan berasal dari kata Bala yang berarti teman dan Dewa
yang diartikan sebagai Yang Maha Kuasa. Tarian ini menyimbolkan permohonan pada
Yang Kuasa untuk keselamatan teman dan sahabat (Sunaryadi 2000: 56)
Sebagian berpendapat
babak ini adalah babak akhir dimana para roh Lengger kembali ketempat mereka
bersemayam, diyakini mereka adalah dewa-dewa yang membantu tugas manusia dalam
kesehariannya.
D.
Penutup
Lengger
merupakan kesenian rakyat tradisional yang cukup terkena di wilayah marginal
seperti Banyumas dan sekitarnya. Dalam perkembangannya Lengger pernah mengalami
masa kejayaan dan mengalami berbagai pergeseran nilai dan fungsi dari waktu ke
waktu. Lengger pernah mengalami mati suri pada periode tahun 1980-an, dan
muncul kembali pada tahun 90-an. Semakin tahun keberadaan kesenian Lengger
mulai terpinggirkan. Karena semakin meningkatnya pemahaman masyarakat yang
global dan persepsi miring terhadap kesenian Lengger yang identik dengan saru,
erotisme, sensualitas seorang wanita dan seks. Pemahaman yang minim akan
simbol-simbol yang ditunjukan kesenian Lengger ini juga merupakan faktor yang
merubah pola pikir masyarakat terhadap kesenian Lengger.
Lengger
kini hanya sebatas kesenian rakyat pinggiran, yang banyak di konsumsi oleh
rakyat jelata dan banyak diantaranya di pentaskan di jalanan.
Daftar
Pustaka
Chusmeru tanpa tahun “komunikasi transedental dan kearifan lokal
dalam kesenian tradisional Banyumas”
Herususanto, Budiono 2008, Banyumas “sejarah budaya dan watak”
Lkis. Yogyakarta
Kulsum, Kendar Umi. 2006 “kajian estetika feminis(seni tradisi Lengger)”
universitas Indonesia. Jakarta
Perpustakaan
Universitas Pendidkan Indonesia tanpa tahun “semiotik”
Priyanto, Wien Pudji tanpa tahun “Makna Indhang dalam Kesenian
Ebeg dan Lengger”Universitas Negri Yogyakarta, Yogyakarta
Sunaryadi. 2000, Lengger “tradisi dan transformasi” Yayasan untuk
Indonesia : Yogyakarta